My Ideas and Stories About PAPUA

Making the rich and beautiful resources in Papua become the social economic strength for Papuan has become the long home works. Many people believe that the early start to find the answer is by understanding how Papua looks like, their communities and their special strength. And it can be realize by directly in touch with them. This blogs provides you chance to touch and gets insight ideas, trends and stories about Papua.

Selasa, 03 Juni 2014

Catatan Refleksi Usaha Mendorong Pengelolaan Hutan di Papua Melalui Skema Hutan Desa

Pengantar

Esania adalah nama kampung di Kabupaten Kaimana tempat program hutan desa yang dibangun dengan inisiasi bersama masyarakat, NGO dan Pemerintah daerah. Pembangunan hutan desa yang diawali dengan diskusi bersama para pihak ini diawali dengan respon positif para pihak untuk mendorong wilayah ini sebagai model di Papua Barat. Rangkaian aktifitas sudah mulai, akan dan sedang dilakukan pada semua aspek dasar pengelaan hutan berkelanjuntan, termasuk aspek dasar mengenai batas adat kampung Esania yang selanjutnya diusulkan sebagai batas wilayah calon hutan desa. Termasuk melengkapi kebutuhan pra-syarat legal untuk usulan penetapan local dan legalitas pengelolaan dan pemantaan sumber daya hutan pada wilayah tersebut.

Namun sampai tahun ke 3 sejak dicanangkannya program bersama ini di tahun 2010, beberapa harapan yang dibangun bersama diawal belum menunjukan progress yang signifikan, bahkan program ini secara politis digaungkan sebagai prioritas di daerah, tetapi pada tataran dukungan implementasi belum optimal dukungan yang diberikan. Beberapa tantangan di level masyarakat juga masih menjadi pekerjaan rumah panjang yang perlu di sedianya menjadi perhatian bersama pihak pendamping, pemerintah dan masyarakat itu sendiri. Keterbukaan komunikasi dan respon cepat antara pihak di kementerian kehutanan di Nasional dan para pihak didaerah terkait hal-hal mendasar yang perlu diperhatikan dalam fasilitasi HD juga menjadi tantangan tersendiri. 

Peta Jalan Pembangunan Hutan Desa Esania. 

Usaha pembangunan kemandirian masyarakat di Papua dalam rangka pengelolaan hutan untuk manfaat yang besar terus menjadi perhatian prioritas kebijakan pengelolaan hutan di Tanah Papua. Belajar dari pengalaman panjang konsep pengelolaan sebelumnya seperti KOPERMAS (Koperasi Peran Serta Masyarakat) atau IPKMA (Ijin Pemanfaatan Kayu Masyarakat Adat) dimana legalitas tanpa pendampingan dan control yang baik telah memojokan posisi masyarakat sebagai korban hukum dan terkesan mendudukan mereka sebagai actor perusak hutan negara. Pengalaman ini tentu memberikan kritik tegas bagaimana system pengelolaan hutan berbasis masyarakat di Papua perlu diperhatikan dan revitalisasi kembali program-program kehutanan masyarakat di Papua termasuk “Hutan Desa” yang merupakan salah satu skema legal baru berbaju lama. 

Program bersama Hutan Desa di Kaimana, diinisiasi dengan tujuan, mendorong kepastian hak atas tanah dan memperkuat posisi tawar masyarakat mencegah infestasi kehutanan dan lahan skala luas yang bersifat destruktif sekaligus mampu menciptkan kemandirian pengelolaan hutan yang memberikan manfaat bagi masyarakat. Secara local beberapa praktek pengelolaan hutan untuk kebutuhan ekonomi instant telah dilakukan masyarakat seperti menebang dan menjual kayu olahan ke kota, membuat perahu, memanfaatkan hasil hutan non kayu seperti Pala dan kelapa. Tantangan terbesar yang ditangkap oleh tim diawal adalah bagaimana melembagakan pengelolaan tersebut yang mana masyarakat memliki jaminan legal pengelolaan hutan dan mampu membagi dan mengelola manfaat yang diterima dari pengelolaan hutan secara berkelanjutan dan seimbang. Menjawab kebutuhan tersebut, beberapa kegiatan pra kondisi dilakukan dalam kurun waktu 4 tahun terakhir. Gambar dibawah adalah infomasi jalan 4 tahun memfasilitasi kebutuhan PHBM di Kaimana 





Pelajaran Penting Fasilitasi Hutan Desa di Esania

Banyak pelajaran penting yang didapat selama fasilitasi hutan desa di Esania – Kaimana, pelajaran ini datang dari proses yang berjalan termasuk tantangan-tantangan yang dialami dilapangan dalam memfasilitasi persiapan hutan desa. Pelajaran datang dari internal strategi program, pemerintah daerah dan program kerjanya, masyarakat juga kondisi lain yang mempengaruhi langsung maupun tidak langsung fasilitasi hutan desa di Esania. Rangkai pertanyaan berikut diharapkan membantu kita untuk melihat pembelajan 4 tahun di Kaimana:

A. Memanfaatkan hasil hutan di wilayah adat-nya mengapa masyarakat harus pakai ijin Negara?

Legalitas pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat adat di Papua masih di pandang belum berpengaruh signifikan terhadap keberlanjutan aktifitas mereka. Karena claim yang muncul adalah mereka mengambil kayu pada wilayah adatnya untuk kebutuhan mereka. Secara de facto masyarakat masih memegang bahwa mereka adalah pemilik wilayah adat dan siapapun yang datang adalah mitra kerja mereka dan harus menghormati hak mereka. Hal ini Nampak jelas di Esania dan beberapa kampung di Kaimana, dimana dalam konteks pengelolaan hutan, beberapa penadah kayu kecenderungan datang dan berminta langsung dan dengan bebas mengambil kayu dari wilayah masyarakat tanpa ada prosedur legalitas perijinan kawasan hutan yang dikelola. Transaksi kerjasama bisnis kecil antara masyarakat adat terjadi secara lansung.

Sehingga pertanyaan kritis yang muncul adalah “apakah legalitas pengelolaan hutan penting untuk dimiliki masyarakat di Esania?” Hutan Desa dipandang sebagai program Negara. Berkaca dari pelajaran di Esania, program ini diinterpretasi sempit oleh masyarakat sebagai kesempatan mereka untuk mendapatkan nilai tambah dari hutan, bukan dari konteks legalitasnya tetapi nilai manfaat ekonomi yang akan mereka terima. Konteks pelembagaan pengelolaan dan pemanfaatan hutan secara legal tidak dipandang menjadi penting dibandingkan pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat yang mendesak. Dan dalam praktek yang berjalan sejauh ini, legalitas masih menjadi nomor ketiga dibandingkan ketersediaan pembeli dan nilai hasil hutan dipasar yang menguntungkan.

B. Apakah Pemerintah Daerah melihat legalitas pengelolaan hutan sebagai kebutuhan penting di level masyarakat adat? Bagaimana Prakteknya selama ini?

Interpretasi legalitas pengelolaan hutan di daerah disempitkan pada konteks pemanfaatan dan pemungutan kayu sebagai objek produk hutan. Belajar dari kasus Kaimana, pemerintah daerah kecenderungan bermain aman untuk mengambil posisi tidak melarang dan juga tidak secara transparan mengkomunikasikan legalitas pengelolaan hutan kepada masyarakat. Pada saat bersamaan pemerintah kecenderungan untuk tidak memberikan penegakan hukum terhadap praktek-praktek ‘ilegal’ yang ada. Sedangkan kayu-kayu yang beredar untuk pembangunan di Kota Kaimana, hampir seluruhnya adalah berasal dari kayu-kayu yang kelola oleh masyarakat adat yang tidak memiliki ijin pemanfaatan hutan bahkan ijin pemungutan kayu. Kayu-kayu tersebut diperdagangkan secara terbuka. Praktek ini dinilai secara jelas mempengaruhi kepedulian dan keinginan pemerintah daerah untuk secara serius mendorong legalitas pengelolaan hutan di Kaimana.

Realita diatas dinilai juga mempengaruhi emosi berpikir masyarakat di Esania. Salah satu pertanyaan yang pernah muncul adalah mengapa kita harus berlelah-lelah menyiapkan pra kondisi, lalu mengusulkan ke menteri dan menunggu mendapatkan ijin hutan desa, sedangkan pemerintah sendiri tidak tegas dengan ijin-ijin usaha perdagangan kayu yang ada? Dan masyarakat lain diluar Esania masih tetap mengambil kayu-nya di wilayah adatnya dan dengan bebas bertransaksi ekonomi dengan penadah kayu tanpa ijin? 

C.Bagaimana cara mengkomunikasikan dan berharapa masyarakat mengerti konteks pengelolaan hutan kontekstual yang padat ke Masyarakat adat di Esania?


Masyarakat di Esania secara bertahap mengalami perubahan dari pemahaman pengelolaan hutan subsisten ke pengelolaan hutan modern dengan pendapatan cash sebagai salah satu orientasi. Kayu misalnya sebagai salah satu produk cash unggulan menjadi object penting yang mendorong perubahan dan peningkatan adaptasi masyarakat terhadap perkebangan pembangunan. Sebagai contoh, pada aspek teknologi, beberapa masyarakat adat di Esania secara baik memliki kemampuan teknis membagi batang menjadi olahan kayu dengan kelas mutu yang beragam, bahkan beberapa diantaranya telah memiliki kemampuan teknis membagi batang berdasarkan kebutuhan pasar. 

Berkaca dari hal diatas, secara signifikan masyarakat memilik pola adaptasi alami secara bertahap dengan kebutuhan pembangunan yang berjalan. Pola adaptasi ini sangat dipengaruhi oleh interaksi masyarakat yang berulang dan terus menerus terhadap aktifitas dan object tersebut. Ini menjadi salah satu titik kritis penting bagaimana seharus-nya memperkenalkan konteks pengelolaan hutan yang padat secara bertahap. Salah satu kendala mengapa hutan desa lambat dan belum menjadi perhatian prioritas di masyarakat Esania adalah juga karena ada gap pemahaman dan masyarakat sudah lebih awal menilai program ini sebagai sesuatu yang susah dan perlu ilmu tinggi untuk diterapkan. Apalagi pendekatan pembangunan program yang harus diakui kecenderungannya menilai masyarakat akan mampu melakukan apa yang sudah mereka peroleh dalam diskusi atau training dan pendampingan yang disediakan tidak menjadi teman yang baik bagi masyarakat.

D. Untuk masyarakat seperti kasus di Esania, komposisi tim pendamping lapangan seperti apa yang dibutuhkan?  

Fasilitator/pendamping mengambil peran kunci dilapangan dan ikut menjadi salah satu factor penentu efektifitas dan signifikansi perubahan dari program bersama masyarakat di Kampung. Melihat kembali ke masyarakat yang mana pada satu sisi memiliki kemampuan alami untuk secara perlahan beradaptasi dari interaksi mereka yang berulang dan disisi lain memiliki keterbatasan pendidikan dan kemampuan, memberikan kita masukan kritis bahwa mereka membutuhkan teman yang bisa menjadi bagian dalam usaha bersama memecahkan masalah mereka tetapi juga memiliki pemahaman dan pengalaman teknis dan strategis yang sedikit maju. 4 tahun perjalanan program di Esania memberikan pelajaran penting bahwa keterbatasan kemampuan dan pemahaman teknis kehutanan oleh pendamping lapangan menjadi salah satu penyebab kekakuan dan ketidakkreatifan program di lapangan. Selain itu pendamping kecenderungan belum menjadi teman baik, tetapi masih banyak mengambil peran guru kepada masyarakat. Dan fasilitasi dilakukan dengan datang dan kembali menjadi salah satu alasan program belum efektif berkembang dalam psikologis masyarakat.

Kewenangan juga perlu diberikan kepada pendamping dilapangan untuk lebih kreatif mengoptimalkan resources yang ada membangun pendidikan sambil bekerja bersama masyarakat. Membangun system control bersama sebagai bahan mentoring agar pendamping dan tim pendukung sama-sama mengoptimalkan produktifitas pekerjaan di lapangan yang berimplikasi pada rasa masyarakat memiliki pekerjaan dan keinginan mereka untuk terlibat secara aktif. Pengalaman dari Esania memberikan masukan bahwa beberapa kombinasi pendamping dengan keahlian tertentu dibutuhkan dilapangan yaitu :


Staff
Bebereapa kamampuan dasar yang dibutuhkan
Teknis kehutanan
-     Memiliki pemahaman tentang prinsi dan bagaimana melakukan tata hutan (perencanaan, pengelolaan, pemanfaatan dan monitoring)
-     Memahami dasar-dasar pemetaan dan pembagian peruntukan lahan
-     Bersedia untuk tinggal lama di kampung (tidak datang dan pulang ke kota)
Sosial antopologi
-     Memiliki kemampuan komunikasi social yang untuk berinteraksi dan berbagi dengan masyarakat
-     Memiliki kemampuan adminitrasi yang baik
Ekonomi
-     Memahami konteks kelembagaan ekonomi local (mis: koperasi)
-    Memiliki jiwa pengusaha dan kreatif melakukan analisis pasar dan produk yang ada di masyarakat
-    Memiliki kreatifitas baik untuk mengajak masyarakat berkreasi memanfaatkan sumber daya yang ada disekitar mereka untuk dikembang menjadi usaha-usaha kreatif

E. Apakah Kementerian Kehutanan serius mendorong pengelolaan hutan berbasis masyarakat adat di Papua?

Terlepas dari beberapa kendala di tingkat daerah (Kampung dan Kabupaten), lambatnya proses fasilitasi hutan Desa Esania juga disebabkan oleh lambatnya kementerian kehutanan memberikan respon terhadap usulan masyarakat dan bupati yang sudah disampaikan. Kurangnya komunikasi dan koordinasi efektit antara pemerintah daerah dan pusat serta keterjebakan program pemerintah dalam renstra dan renja yang mana belum mengakomodir pembangunan hutan desa di Papua diakui menjadi salah satu kendala minimnya dukungan yang diberikanke Esania.

Selain hal diatas, proses politik dan pergantian kepala UPT kementerian di daerah yang bertanggung jawab langsung terhadap fasiltasi Hutan Desa ikut mempengaruhi keseriusan dukungan kepada program yang berjalan. Kekhawatiran pemerintah pusat terhadap lemahnya kapasitas masyarakat dalam pengelolaan hutan cenderung mendominasi pertimbangan mereka memberikan ruang kelola kepada masyarakat adat di Papua.

F. Berapa lamakah waktu ideal yang dibutuhkan untuk memfasilitasi hutan Desa menujukemandirian masyarakat melakukan pekerjaan itu sendiri? Berapakah biaya yang dibutuhkan mulai dari pra kondisi awal sampai persiapan pengelolaan dan pemanfaatan hutan desa?

Harapan besar proses panjang fasilitasi pengelolaan hutan berbasis masyarakat adat adalahberkembangnya kemandirian masyarakat mengelola wilayah dan sumber daya hutannya dengan kapasitas teknis dan strategis yang mendukung dalam kerangka jaminan kepastian hak dan pembagian manfaat yang jelas. 4 tahun perjalanan fasilitasi inisiatif PHBM di Esania memberikan masukan penting untuk menyusun strategi pendampingan dan optimalisasi transisi pekerjaan kepada masyarakat yang seharusnya sebagai pemilik pekerjaan. Karena berhadapan dengan masyarakat yang dinamis perubahannya dan level pendidikan yang rendah bisa jadi waktu 10 tahun merupakan titik akhir transisi pekerjaan kepada masyarakat dan pendamping mengambil peran supervise dari jauh sebagai mitra aktif masyarakat.

Belajar dari pengalaman di Kaimana dan lambatnya proses penetapan kawasan hutan desa dan perijinan, 5 tahun adalah waktu yang diestimasi paling cepat masyarakat baru bisa memulai melakukan pengelolaan dan pemanfaatan hutan sesuai dengan RKU-nya. Dalam 5 tahun tersebut, berdasarkan pengalaman berjalan dan estimasi kebutuhan anggaran untuk mendukung kegiatan, dibutuhkan kurang lebih Rp. 3 milliar rupiah untuk memfasilitasi 1 wilayah adat seperti Esania. Lalu apabila kita berharap pendekatan yang sama di aplikasikan di tempat lain di Papua dengan asumsi masyarakat dan pemerintah daerah bersedia memfasilitasi, apakah kita yakin dengan semua proses yang ada dan kebutuhan waktu yang pendanaan yang ada, masyarakat adat atau pemerintah daerah lain di Papua mau mengembangkan hutan desa di tempatnya?

0 komentar:

Posting Komentar